Akhir-akhir ini terjadi penurunan harga daging ayam di sejumlah wilayah Pulau Jawa. Bahkan anjlok hingga ke angka Rp 6.000 per kilogram di beberapa wilayah. Kementerian Perdagangan menyatakan anjloknya harga di tingkat peternak ini karena stok yang berlebihan atau over supply.
Di sisi lain harga daging sapi masih bertengger dikirasan Rp.110.000,- hingga Rp.130.000,- per kilogram. Bagi sebagian masyarakat harga tersebut dirasa masih tinggi. Sehingga pemerintah mencetuskan ide mendatangkan daging kerbau dari India. Tujuannya untuk menstabilkan harga daging sapi dan memberikan kesempatan kepada masyarakat agar memperoleh protein hewani dengan harga yang terjangkau.
Membaca permasalahan-permasalahan tersebut Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB) mengadakan focus group discussion, Jumat (6/09/2019). Bertempat di ruang rapat senat lt.6 Gd.V, kegiatan diskusi tersebut mengundang ketua Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI), Ir. Didiek Purwanto, IPU serta seluruh dosen pengajar di Fapet UB.
Didiek mengatakan sebagai upaya mengendalikan harga daging ayam, hendaknya pemerintah menggandeng ritel modern dan industri lainnya untuk menyalurkan ayam hidup, agar kelebihan produksi ayam bisa teratasi.
Sementara itu tujuan impor daging kerbau adalah menghindari pemotongan sapi betina produktif untuk memenuhi permintaan pasar. Yangmana peternak lokal belum mampu memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat.
Namun dampak impor daging kerbau membuat peternak sapi lokal harus berupaya keras menekan harga agar dapat bersaing. Harga jual diatas seratus ribu rupiah pun belum sesuai dengan biaya pokok produksinya.
“Terobosan strategis yang diperlukan ialah pengoptimalan aplikasi teknologi untuk mendongkrak produktivitas sapi potong. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional akan protein hewani, meningkatkan pendapatan peternak, memperluas kesempatan kerja, serta menumbuhkan kembangkan usaha kecil dan menengah.” tuturnya (dta)